Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi,
Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri,
berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas
kebebasan dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia harus tunduk pada qadar tuhan.
Seharusnya sebutan Qadariyah
diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala
tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun
sebutan tersebut telah melekai kaum sunni, yang percaya bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehandak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini
diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Kapan
Qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang
masih diperdebatkan. Manurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan. Oleh Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma;bad adalah seorang taba’i yang
dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghalian
adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula
Usman bin Affan.
Ibnu
Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin,
memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham
Qadariyah adalah orang Irak yang semuala beragama kristen kemudian
beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari orang inila Ma’bad
dan Ghailan mengambil faham ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana
dikatakan Muhammad Ibnu Syu’i
Yang memproleh informasi dari Al-Auzai, adalah susunan.
Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada
tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat
dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan
Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi
perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan catatannya terdapat dalam
kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas
memilih antara berbuat baik atau buruk.
Ma’bad
Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut watt, adalah penganut
Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan
keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad
Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan
Al-Bashri, maka sangat mungkin fahm Qadariyah ini mula-mula dikembangkan
oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn
Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal dari orang
irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah
hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar
orang-orang yang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagipula
menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher , dikalangan gereja
timur ketika itu terjadi perdebatan tenteng butir doktrin Qadariyah yang
mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan
dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya jika
meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk
menentukannya. Para peniti sebelumnya pun
belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu
banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini
terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini di kuatkan oleh Ibn
Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini
adalah seorang kristen di irak yang telah masuk islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghallian . sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang banyak dipekerjakan diistana-istana.
Faham
Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu, ada
beberapa hal yang mengakibatkan terjadinua reaksi keras ini. Pertama,
seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum islam
kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa arab
ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu
terpaksa mengalah kepada keganasan alam. Panas yang menyengat, serta
tanah dan gunung yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu
menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam
sekelilingnya.faham itu terus dianut kedatipun mereka telah beragama
islam, karena itu , ketika faham Qadariyah di kembangkan, mereka tidak
dapat menerimanya, faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan
doktrin islam.
Kedua
tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan itu sangat mungkin
terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada
kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah
sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat,
yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang
dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta
kerajaan.
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam
kitab Al-Milal wa An-Nihal , pembahasan masalah Qadariyah disatukan
dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan
antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan
Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah
akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua
aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Mansuia sendiri pula
melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri.
Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam , mengemukakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala
perbuatannya.
Dari
beberapa penjelasan diatas ,dapat di pahami bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Mansuia mempunyai kewenangan
untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat
baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya.
Seseorang
diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan
pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak
pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan
atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir
itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta
seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran
adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan
surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka
kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir
Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah
yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu.Dalam
perbuatan-perbuatannya,manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
di tentukan sejak azali terhadap dirinya.Dalam faham Qadariyah,takdir
itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta
seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran
adalah sunatullah.
Secara
alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak
mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian
juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa
barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya
pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat
berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu ,dengan daya pikir yang
kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat
meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut
lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat
membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan
lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang
dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui
adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia ? siapa yang
membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana
batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia
kepada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin islam sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar