Sejarah dan Perkembangan Murji'ah
Murjiah diambil dari kata Irja’, yang memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti pengunduran, dan kedua memberi harapan. Pengertian pertama merujuk pada surat Al-A’raf ayat 111: “arjih wa-akhohu”, tahanlah dia dan saudaraya-menunjukan bahwa perbuatan bersifat sekunder dibandingkan dengan niat. Demikian pula dalam pengertian yang kedua untuk menunjukan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana ketaatan atas suatu keyakinan lain tidak berguna.

Perkataan ‘al-irja” pun mengandung arti penundaan pengadilan terhadap seseorang yang melakukan dosa sampai hari kiamat. Dengan demikian, di dunia ini tidak ada perhitungan untuk ahli syurga maupun ahli neraka.


Berdasarkan pengertian di atas, yang mengambarkan pula prinsip pahamnya, maka paham Murjiah bertolak belakang dengan Khawarij. Hal ini dapat kita llihat pada persoalan dosa besar, misalya kalau Khawarij menghukumkan “kafir” atau “musyrik”, maka Murjiah tetap menghukumkan mu’min.
Golongan ini muncul di tengah-tengah memuncaknya perdebatan mengenai pelaku dosa besar. Apakah pelaku dosa besar masih tetap beriman atau tidak? Menurut Khawarij orang itu menjadi kafir, sedangkan menurut Mu’tazilah orang itu bukan mukmin, melainkan hanya muslim. Hasan Al-basri dan sebagian Tabi’in mengatakan bahwa orang itu munafik. Alasan mereka, perbuatan merupakan cermin dari hati, sedangkan ucapan tidak dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah beriman.
Adapun mayoritas umat islam memandang pelaku dosa besar sebagai orang Mu’min yang durhaka, yang persoalannya diserahkan kepada Allah .jika menghendaki, ia akan menyiksanya sesuai dengan dosanya dan jika menghendaki pula, ia dapat saja mengampuni kesalahannya .Ditengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji’ah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir.
Diantara para pendukung paham ini ada yang berpendapat bahwa persoalan pelaku dosa besar diserahkan kepada Allah pada hari kiamat. Kelompok pendukung ini memiliki jumlah yang besar dan bergabung dengan sekelompok besar ulama Sunni.
Penyemaian benih pertama yang kemudian menumbuhkan Murji’ah terjadi pada masa sahabat Nabi, yaitu pada masa akhir pemerintahan Utsman. Pergunjingan tentang keadaan pemerintahan Utsman dan para pejabatnya berkembang sampai kepelosok-pelosok wilayah islam. Pergunjingan itu kemudian melahirkan fitnah dan berakhir dengan terbunuhnya Utsman.
Ketika akibat-akibat yang timbul dari fitnah itu berlanjut sampai kemasa pemerintahan Ali, kelompok ini tetap mempertahankan sikap pasif mereka dan menangguhkan hukum tentang peperangan yang terjadi antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah sampai hari kiamat.
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak di kalangan umat islam, dan masalah yang dipergunjingkan tidak hanya masalah penetapan hukum atas kasus diatas, tetapi termasuk pula masalah pelaku dosa,muncullah satu kelompok yang menempuh pola sikap menangguhkan persoalan (al-irja) terhadap pelaku dosa suatu sikap yang ditempuh sebagian kelompok sahabat. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar ditangguhkan kasusnya, dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Tentang mereka yang saling bertikai itu kelompok Murji’ah berkata, “Mereka menyatakan dua kalimat syahadat, maka jika demikian mereka bukan orang kafir dan bukan pula musyrik, tetapi muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah masa kelompok tadi, muncul penganut paham yang tidak sekedar bersikap pasif terhadap pelaku dosa besar, tetapi lebih dari itu mereka menetapkan bahwa dosa tidak membahayakan iman. Mereka berkata bahwa iman adalah pengakuan pembenaran, keyakinan, dan pengetahuan (ma’rifah), perbuatan maksiat tidak akan merusakkan hakikat iman.
Di tengah-tengah pendapat dan pandangan itu di antara para penganut mazhab Murji’ah ini terdapat orang-orang yang melecehkan hakikat keimanan, amal-amal ketaatan, serta perbuatan-perbuatan yang mulia lainnya.
Dari uaraian tentang Murji’ah diatas dapat disimpulkan bahwa Murji’ah merupakan mazhab dari dua golongan. Yang pertama adalah yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas pertentangan yang terjadi diantara para sahabat dan yang terjadi dimasa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan kelompok kedua adalah yang memandang bahwa ampunan Allah amat luas, mencakup segala sesuatu. Allah mengampuni semua dosa selain kekafiran, sehingga perbuatan maksiat tdak dapat merusak keimanan.
Golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu, yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat murji’ah kepada beberapa imam mazhab dalam bidang fiqh dan hadits. Dengan tolak ukur pandang ini imam Abu Hanifah dan murid-muridnya Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lain mereka dinamakan Murji’ah .Abu Hanifah pernah berkata, “iman adalah pembenaran dengan hati, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang “.

Ciri-Ciri Paham Murji'ah
Diantaranya adalah :

  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
    1. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal  dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
    2. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman.   Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
    3. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum  masuk Islam.

Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya

Sekte Aliran Murji'ah 
Secara garis besar Murji`ah diklasifikasikan menjadi dua sekte. Yaitu sekte yang moderat dan sekte yang ekstrim. Murji`ah moderat berpendirian bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka akan disiksa sebesar dosanya dan bisa juga diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul–RasulNya serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman dalam hal ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al Hasan Bin Muhammad Bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.


Sedangkan yang termasuk kelompok Murji`ah Ekstrim adalah sebagai berikut :

  1. Jahmiyah, kelompok Jahm Bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufuran itu bertempat di hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
  2. Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Al Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
  3. Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa – dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
  4. Ghasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “ Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula yang mengatakan,” Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.

0 komentar:

Posting Populer

Pengunjung

Arsip